Monday, May 15, 2023

Adab-adab Puasa

Adab-adab Puasa

Puasa mempunyai banyak adab, di mana ianya tidak akan sempurna kecuali dengan mengerjakannya dan juga tidak lengkap kecuali dengan menjalankannya. Adab-adab ini terbagi kepada dua bahagian; 

Adab-adab yang bersifat wajib, yang mesti dipelihara dan dijaga oleh orang yang berpuasa. 

Dan adab-adab yang bersifat sunat yang juga sunat dipelihara dan dijaga oleh-nya.


Berikut ini adalah pembahasannya lebih lanjut.


A- Adab-adab yang  bersifat Wajib:


1. Orang yang berpuasa wajib menghindari kedustaan, kerana hal itu termasuk amal yang haram dilakukan pada setiap saat dan pada waktu puasa lebih diharamkan.


Rasulullah Sallallahu‘alaihiwasallam telah bersabda,


إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَلاَ يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا


Maksudnya:"Jauhilah oleh kalian perbuatan dusta, kerana dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu menggiring ke Neraka. Dan seseorang itu masih akan terus berdusta dan terus berdusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta". Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Sahiih al-Bukhari (VIII/30) dan Sahih Muslim (VIII/29))


2. Hendaklah orang yang sedang berpuasa menghindari ghibah atau mengumpat. Yakni seorang muslim menyebutkan apa-apa yang tidak disukai oleh saudaranya ketika saudaranya itu tidak ada bersamanya, baik yang disebutkannya itu apa yang tidak disukai dari penampilan atau akhlaknya, mahupun yang disebutkannya itu memang benar adanya mahupun tidak.


Allah Subhanahuwata’ala berfirman:


وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ


Maksudnya:"Dan janganlah sebahagian kalian mengata-ngata sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya…". Al-Hujuraat ayat 12.


Sesungguhnya tidak ada gambaran yang lebih buruk dari gambaran ini, di mana seseorang memakan daging orang yang sudah menjadi mayat. Sesungguhnya yang buta bukanlah mata tetapi hati yang ada di dalam dada. Dan ghibah itu haram dilakukan bila-bila pun, dan bagi orang yang sedang berpuasa, ghibah lebih diharamkan sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu.


3. Hendaklah orang yang sedang berpuasa juga menghindari namimah atau mengadu domba. Yakni tindakan seorang muslim yang menyampaikan ungkapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk merosakkan hubungan antara keduanya. Perbuatan ini termasuk perbuatan dosa besar, kerana ia dapat merosak individu dan juga masyarakat.


Allah Subhanahuwata’ala berfirman,


وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ﴿١٠﴾هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ


Maksudnya:"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah". Al-Qalam 10-11.


Rasulullah Sallallahu‘alaihiwasallam juga bersabda,

“لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ.”


Maksudnya:"Tidak akan masuk Syurga orang yang suka mengadu domba". Riwayar Muslim (I/69).


4. Hendaklah orang yang berpuasa menghindari tipu muslihat dan kecurangan dalam segala bentuk mu’amalah, baik ianya jual beli, sewa-menyewa, mahupun produksi, serta dalam semua sebaran atau risalah dan pemberitaan. Sebab, tipu muslihat itu termasuk perbuatan dosa besar, kerana ia merupakan penipuan sekaligus penanaman benih fitnah dan perpecahan.


Rasulullah Sallallahu‘alaihiwasallam bersabda:


مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا


Maksudnya:"Barangsiapa menipu kami bererti dia bukan dari golongan kami". Riwayat Muslim (I/69).


5. Hendaklah orang yang berpuasa juga menghindari kesaksian palsu, kerana hal itu termasuk perbuatan yang bertentangan dengan puasa.


Rasulullah Sallallahu‘alaihiwasallam telah bersabda, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,


مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ


Maksudnya:"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak memiliki kepentingan pada tindakannya meninggalkan makanan dan minumannya".Diriwayatkan oleh oleh al-Bukhari. Sahih al-Bukhari (III/24).


6. Hendaklah orang berpuasa juga menjaga Lisan dari kata-kata yang tidak bermunafaat.


Orang yang berpuasa mestilah menjaga lisannya dari kata-kata yang tidak bermunafaat, kerana lisan merupakan sumber dari banyaknya dosa. Orang-orang mukmin sebenarnya adalah yang selalu menghindari pembicaraan yang tidak bererti dan senantiasa menghiasi diri dengan adab-adab Islam dalam ucapan mereka.


Allah Subhanahuwata'ala berfirman,


قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ


Maksudnya"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.(iaitu) orang-orang yang khusyu' dalam solatnya,Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna". Al-Mu’-minuun ayat 1- 3.


Selain itu, Allah Subhanahuwata'ala juga berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ


Maksudnya:"Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir". Qaaf ayat 18.


Orang yang berpuasa mestilah mempuasakan (menahan) juga anggota tubuhnya dari segala macam perbuatan dosa, lisannya dari dusta, kata-kata keji, dan sumpah palsu, serta kata-kata yang tidak bererti. Juga hendaklah mempuasakan perutnya dari makanan dan minuman dan kemaluannya dari perbuatan keji. Andaikata jika dia memang  perlu untuk berbicara, maka hendaklah dia  berbicara dengan kata-kata yang tidak akan merosakan puasanya. Jika dia mesti berbuat sesuatu maka hendaklah dia berbuat hal-hal yang tidak akan merosakan puasanya, sehingga yang keluar darinya adalah ucapan yang baik dan amal perbuatan yang soleh.


Nabi Sallallahu‘alaihiwasallam telah memerintahkan kepada setiap muslim yang berpuasa untuk menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan baik serta menjauhkan diri dari kata-kata dan perbuatan keji serta hina. Setiap muslim dilarang mengerjakan semua hal yang buruk tersebut di atas pada setiap saat, tetapi larangan itu lebih ditekankan lagi pada saat dia menjalankan ibadah puasa.


Rasulullah Sallallahu‘alaihiwasallam bersabda, seperti yang diriwayatkan oleh Dari Abu Hurairah, 


لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ


Maksudnya:“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu(lalai) dan rofats(lucah). Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat keji padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. Riwayat Ibnu Majah dan Hakim.  At Targib wa At Tarhib no. 1082.


Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “… Secara lahiriah, telah muncul musykilah (masalah) bahawa kata mufa’alah menuntut adanya perbuatan dari dua belah pihak. Orang yang berpuasa tidak akan muncul darinya perbuatan yang dapat memancing reaksi, khususnya pertikaian. Sedangkan yang dimaksud dengan mufa’alah adalah kesiapan untuk menanggapinya. Ertinya, jika seseorang siap untuk melakukan penyerangan terhadapnya atau caci-maki terhadapnya, maka hendaklah dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Jika dia mengatakan hal tersebut, maka dimungkinkan baginya untuk menahan diri darinya (pertikaian)… Apakah boleh dikatakan dengan ucapan: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’ kepada orang yang menyerangnya atau dengan mengatakannya sendiri? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Imam an-Nawawi mengatakan, ‘Menyatukan keduanya adalah lebih baik". Fathul Baari (IV/105).


7. غضُّل  البصر  (Menundukkan Pandangan)


Orang yang berpuasa mestilah menundukkan pandangannya dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahuwata’ala. Kerana sebagaimana anggota tubuh lainnya, mata juga mempunyai hak puasa, dan puasa mata adalah dengan menundukkannya dari hal-hal yang haram.


Allah Subhanahuwata’ala berfirman:


قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ﴿٣٠﴾وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ


Maksudnya:"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka". An-Nur ayat  30-31.


Bulan puasa merupakan madrasah pendidikan yang paling baik bagi orang-orang yang diuji dengan berbagai keinginan syahwat dan ketamakan terhadap pujian manusia. Dia akan menghindari semua itu jika dia memahami hukum Allah Subhanahuwata'ala serta mencermati hikmah-Nya serta kegigihannya untuk memperbaiki puasanya dan menggapai pahalanya. Pada bulan tersebut, dia akan melatih diri untuk menundukkan pandangan serta menahan anggota tubuhnya dari hal-hal yang buruk dan menyibukkan hati dengan memikirkan ayat-ayat Allah sekaligus mengingat nikmat-nikmat-Nya yang telah dikaruniakan kepadanya, seraya mengintrospeksi diri dalam mensyukurinya dengan mengalokasikannya sebaik-baiknya.


Adapun orang-orang yang suka melakukan perbuatan sia-sia yang melepaskan pandangan mereka pada hal-hal yang haram serta tidak menjaga kesucian bulan tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan sesuatu untuk diri mereka, kecuali kerugian dan penyesalan di dunia serta mendapatkan siksa yang sangat pedih di akhirat kelak.


Benarlah ungkapan seorang penyair. di mana dia mengungkapkan:


وَكُنْتَ مَتَى أَرْسَلْتَ طَرْفَكَ رَاِئدًا

إِلَى كُلِّ عَيْنٍ أَتْعَبْـتَكَ الْمَنَـاظِرِ

أَصَبْتَ الَّذِي لاَ كُلَّهُ أَنْتَ قَـادِر

عَلَيْهِ وَلاَ عَنْ بَعْضِـهِ أَنْتَ صَابِـر


Maksudnya:

“Bila saja engkau melepaskan pandangan ke semua mata,

maka engkau akan dibuat lelah oleh pemandangan.

Engkau akan mendapatkan yang semuanya engkau tidak mampu

menahannya dan tidak juga dari sebagiannya engkau mampu bersabar.”

Lihat Badaa-i’ul Fawaa-id (II/271).


B- Adab-adab yang bersifat Sunat:


1. Mengakhirkan Sahur


Sahur bererti makan di akhir malam. Disebut sahur kerana ia dilakukan pada waktu sahur. Rasulullah Sallallahu‘alaihiwasallam sendiri telah memerintahkan untuk makan sahur, di mana beliau Sallallahu‘alaihiwasallam bersabda,


تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ


Maksudnya:"Makan sahurlah kalian, kerana sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat keberkahan". Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Sahih al-Bukhari (III/76) dan Sahiih Muslim (III/130).


Hendaklah seseorang berniat mengikuti perintah Nabi Sallallahu‘alaihiwasallam dengan sahurnya itu, sekaligus memperkuat puasanya agar sahur yang dilakukannya itu boleh menjadi ibadah. Dan hendaklah dia mengakhirkan sahur selama tidak khawatir terhadap terbit fajar, kerana Nabi Sallallahu‘alaihiwasallam biasa melakukan hal tersebut.


Adalah merupakan sunnah untuk kita melewatkan waktu sahur sehingga hampir kepada waktu subuh sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh Zaid bin Thabit RA, beliau berkata:


تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِينَ آيَةً


Maksudnya: "Kami telah bersahur bersama Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam kemudian kami bangun untuk mendirikan solat, aku telah bertanya, berapa jarak antara keduanya? Maka baginda Sallahu'alaihiwasallam bersabda: 50 ayat." Riwayat Muslim (1097), al-Nasaie (2155), dan Ibn Majah (1694)


Maksud 50 ayat di dalam hadith ini adalah merupakan kadar tempoh bacaan ayat al-Quran tersebut lebih kurang persamaannya dengan kadar waktu antara imsak iaitu waktu berhati-hati dengan waktu subuh.


Imam al-Nawawi dalam mensyarahkan hadith ini menyebut: “Maknanya, jarak antara kedua waktu tersebut adalah kadar bacaan 50 ayat al-Quran serta padanya galakan untuk melewatkan sahur sehingga sebelum waktu fajar”. (Lihat Syarh al-Nawawi 'ala Sahih Muslim, 7/208-209)


2. Menyegerakan berbuka puasa apabila masuknya waktu atau disebut ta’jil al-Iftar.


Disunatkan bagi orang yang berpuasa untuk menyegerakan berbuka jika matahari sudah benar-benar terbenam, dengan melihatnya langsung atau dengan memperkirakan hal tersebut, atau dengan terdengarnya azan, kerana azan merupakan berita yang paling dapat dipercaya. Apabila dilaungkan azan menunjukkan telah masuk waktu maghrib. Sunnah yang dituntut untuk dilakukan adalah menyegerakan berbuka dan tidak menangguhkannya.


Disunatkan bagi orang yang berpuasa untuk berbuka dengan kurma ruthab (kurma basah), jika tidak maka boleh dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada juga, maka hendaklah dengan meneguk air. Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Nabi Sallallahu‘alaihiwasallam.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu bahawa Nabi Sallallahu‘alaihiwasallam pernah bersabda:


لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجِّلُوْا الْفِطْرَ


Maksudnya:"Manusia ini akan senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa". Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Sahiih al-Bukhari (III/33) dan Sahiih Muslim (III/131).


Sebagaimana Sabda Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam,


اَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لَأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ


Majsudnya: “Agama ini akan terus-menerus menang (zahir) selama mana manusia menyegerakan berbuka puasa, kerana Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” Riwayat Abu Daud (2353), An-Nasa-i dalam Al-Kubra, Ahmad, Ibnu Hibban dalam Al-Ihsan, Hakim, Al-Baihaqi dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhid.


Dan disunatkan bagi orang yang berpuasa untuk memanjatkan doa pada saat akan berbuka dengan doa-doa yang mudah diucapkannya, kerana pada saat itu merupakan waktu yang dikabulkan doa. Oleh kerana itu, seorang muslim mestilah memunafaatkan dengan sebaik-baiknya dari waktu-waktu ketaatan tersebut.


3. Memulakan makan dengan ucapan سَمِّ اللَّهَ dan menggunakan tangan kanan untuk Makan.


Antara adab makan yang ditegaskan oleh Islam ialah memulakan makan dengan سَمِّ اللَّهَ. Kemudian, makan dan minum dengan tangan kanan. Demikian juga tidak gelojoh sehingga kelihatan tamak dan tidak sopan. Hal ini seperti yang diajar oleh Nabi Sallahu'alaihiwasallam kepada anak tiri baginda yang masih kecil iaitu Umar bin Abi Salamah sewaktu dia hendak makan.


Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam bersabda,


 يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ 


Maksudnya:"Wahai budak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” Riwayat Bukhari (5376) dan Muslim (2022).


Makanan yang kita makan adalah kurniaan Allah semata. Makanan boleh terhalang dari menjadi rezeki kita bukan sahaja disebabkan kita tiada kemampuan membelinya, tetapi juga mungkin disebabkan penyakit ataupun halangan yang lain. Berapa ramai orang kaya yang tidak mampu makan sekalipun mampu membeli. Maka sebagai tanda ingatan kita atas kurniaan Allah, maka sebutlah nama-Nya ketika makan. سَمِّ اللَّهَ juga sebagai tanda pergantungan segala harapan dan kekuatan dengan nama-Nya apabila makan. Justeru kita سَمِّ اللَّهَ bererti ‘dengan nama Allah aku makan ataupun minum’. Dengan erti kata lain,kita menyebut nama Allah dengan maksud pergantungan kita kepada-Nya apabila kita makan.


4. Makanan sunnah untuk berbuka


Ketika bersahur disunnahkan bersahur dengan tamar (kurma kering), namun ketika Nabi Sallahu'alaihiwasallam berbuka pula dengan ruthab (kurma basah), ini adalah  menurut apa yang dikata oleh Anas Ibn Malik RA,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ


Maksudnya: “Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah) sebelum solat maghrib. Jika tidak ada kurma basah, maka baginda berbuka dengan tamar (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian baginda berbuka dengan seteguk air.” (Riwayat Abu Daud dan Ahmad, hasan sahih)


5.Berdoa dan kelebihan doa orang Berpuasa


Perkara utama yang perlu dipasak jauh kedalam lubuk minda kita adalah bahawasanya doa itu ibadah. Oleh itu, apabila kita berdoa, kita sebenarnya sedang melakukan ibadah. Alangkah pemurahnya Allah Subhanahuwata'ala, disaat Kita minta kepada Dia pun dikira sebagai ibadah.


عَنِ النُّعْمَانَ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النِّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ


Maksudnya:"Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa adalah ibadah.” 

Riwayat Abu Daud, 1479; Tirmidzi,2969; Ibnu Majah,3828; Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 714. 


Doa orang yang berpuasa merupakan antara doa yang sangat mustajab. Sabda Baginda Nabi Sallahu'alaihiwasallam:


ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ


Maksudnya: "Ada tiga golongan yang doa mereka tidak ditolak: Orang yang berpuasa hinggalah dia berbuka, doa pemimpin yang adil dan doa orang yang dizalimi. Hadith Riwayat Tirmizi (3598)


Menurut Imam Nawawi, hadith ini menunjukkan anjuran kepada kita agar memperbanyakkan doa sewaktu berpuasa dari bermulanya puasa hingga ke akhirnya. Rujuk Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (6/375)


Adapun kaifiat ataupun cara membaca doa berbuka puasa adalah seperti berikut:


1- Membaca doa sebelum berbuka


Membaca apa jua doa yang berkaitan dengan kelebihan dunia dan akhirat samada untuk diri sendiri, kaum keluarga, sahabat handai dan untuk seluruh kaum Muslimin. Hal ini termasuk di bawah perintah umum dan anjuran agar memperbanyakkan doa sewaktu sedang berpuasa. Doa orang yang berpuasa adalah mustajab di sisi Allah Subhanahuwata'ala. Ini adalah kerana orang yang berpuasa mempunyai kedudukan yang tinggi dan istimewa dikeranakan mereka berpuasa hanya kerana Allah Subhanahuwata'ala. Lebih-lebih lagi pula, Allah Subhanahuwata'ala amat suka kepada hamba-Nya yang sentiasa berdoa memohon kepadanya dalam apa jua keadaan. Rasulullah sallahu‘alaihiwasallam telah mengkhabarkan bahawa doa yang tidak ditolak ialah doa orang yang berpuasa.


Daripada Abdullah bin ‘Amr RA berkata bahawa Nabi sallahu‘alaihiwasallam bersabda:


إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ


Maksudnya: “Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa itu ketika dia berbuka doa yang tidak akan ditolak”. [Riwayat Ibn Majah (1753)][Syeikh Syuaib al-Arna’outh mengatakan sanad hadith ini adalah hasan]


Daripada Abu Hurairah RA berkata bahawa Nabi sallahu‘alaihiwasallam bersabda:


ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ


Maksudnya: “Tiga golongan doa mereka tidak akan ditolak: Imam yang adil, orang yang berpuasa sehingga dia berbuka dan doa orang yang dizalimi”. [Riwayat Ibn Majah (1752)][Syeikh Syuaib al-Arna’outh mengatakan hadith ini adalah hasan]


ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ


Maksudnya: Ada tiga golongan yang doa mereka tidak ditolak: Orang yang berpuasa hinggalah dia berbuka, doa pemimpin yang adil dan doa orang yang dizalimi. Riwayat Tirmizi (3598)


Menurut Imam Nawawi, hadith ini menunjukkan anjuran kepada kita agar memperbanyakkan doa sewaktu berpuasa dari bermulanya puasa hingga ke akhirnya. Rujuk Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (6/375)


Daripada Abdullah bin ‘Amr RA berkata bahawa beliau mendengar Nabi Sallahu‘alaihiwasallam bersabda:


لِلصَّائِمِ عِنْدَ إِفْطَارِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ


Maksudnya: “Bagi orang yang berpuasa ketika dia berbuka doa yang mustajab”. [Lihat: Musnad Abi Daud al-Thoyalisi (2376)]


Justeru itu, ambillah kesempatan untuk memperbanyak berdoa kepada  Allah Subhanahuwata'ala dengan apa saja doa untuk kebaikan diri.


Juga berdalilkan dengan keumuman surah al-Baqarah ayat 186 tentang anjuran berdoa:


َِ وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ


Maksudnya:"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran".Al-Baqarah ayat 186


Juga firman Allah Subhanahuwata'ala.


قالَ رَبُّكُمُ ادعوني أَستَجِب لَكُم ۚ إِنَّ الَّذينَ يَستَكبِرونَ عَن عِبادَتي سَيَدخُلونَ جَهَنَّمَ داخِرينَ


Maksudnya:“Dan Tuhan kamu berfirman: “Berdoalah kamu kepada-Ku nescaya Aku perkenankan doa permohonan kamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong takbur daripada beribadat dan berdoa kepada-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina”.       ( Al-Ghafir ayat 60)


Ayat ini adalah merupakan anjuran untuk memperbanyakkan berdoa. Allah Subhanahuwata'ala dengan sifat kemurahan-Nya, menyuruh kita agar berdoa kepada-Nya. Dia membuka pintu doa kepada kita, supaya Kita  minta apa sahaja yang kita hendak (asalkan dalam hal yang diharuskan oleh syariat)


2- Sejurus selepas berbuka


Membaca doa yang berikut, iaitu:


اللَّهُمَّ لَك صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت


Maksudnya: Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rezeki dari-Mu aku berbuka.

Sunan Abi Dawud (2358). 

Status: Dha’if jiddan (sangat dha’if)


Dari Ibnu Umar, dia berkata; Adalah Rasulullah Sallahu‘alaihiwasallam akan membaca : 


ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ


Teks hadithnya berbunyi:


عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ


Maksudnya:"Dari Ibnu Umar, dia berkata; Adalah Rasulullah Sallahu‘alaihiwasallam ketika berbuka baginda berkata: “Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah”. (Riwayat Abu Daud, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim. Status:Hasan 


Menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Imam Ramli, doa ini dibaca sejurus selepas berbuka (عقب), bukan sebelumnya. (Rujuk Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj, 3/435 dan Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj, 3/183. Doa-doa ini turut disebut oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Azkaar)


Antara doa yang bagus untuk dibaca ialah seperti doa ‘Abdullah ibn ‘Amru sewaktu berbuka puasa:


اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَىْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي


Maksudnya: Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon dengan rahmat-Mu yang meliputi segala perkara, agar Engkau mengampuniku. Sunan Ibn Majah (1753)


6.Makan dengan tangan kanan 


Makan dengan menggunakan tangan kanan adalah adab makan yang paling zahir dalam majlis makan orang muslim. Ia lambang yang nyata dan adab yang tertonjol. Sebagaimana dalil dari hadith-hadith berikut:


إذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ


Maksudnya: "Jika seseorang di antara kamu makan, maka hendaklah dia makan dengan tangan kanannya. Jika minum maka hendaklah juga minum dengan tangan kanannya, kerana syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula. Riwayat Muslim (2020)


Juga hadith Jabir bin ‘Abdillah R.A, bahwa Rasulullah Sallahu‘alaihiwasallam bersabda:


لا تأكلوا بالشِّمالِ ، فإنَّ الشَّيطانَ يأكلُ بالشِّمالِ


Maksudnya: Janganlah kamu makan dengan tangan kiri kerana syaitan makan dengan tangan kiri. Riwayat Muslim (2019)


Nabi Sallahu‘alaihiwasallam berpesan kepada Umar bin Abi Salamah R.A:


يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ


Maksudnya: Wahai anakku, makanlah dengan menyebut nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang dekat dengan kamu. Riwayat Bukhari (5376)


Terdapat sebuah riwayat hadith bahawa Nabi Sallahu‘alaihiwasallam pernah mendoakan keburukan kepada seseorang yang enggan makan dengan tangan kanan:


أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.


Maksudnya: Ada seorang lelaki makan di samping Rasulullah Sallahu‘alaihiwasallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia menjawab, ‘Aku tidak mampu.’ Baginda bersabda, Semoga kamu benar-benar tidak mampu melakukannya.’ Tidaklah dia enggan untuk makan dengan tangan melainkan kerana kesombongan. Setelah itu tangannya tidak mampu sampai ke mulutnya.

Riwayat Muslim (2021)


Menurut Imam al-Nawawi, doa Nabi Sallahu‘alaihiwasallam ini adalah kerana perbuatan lelaki itu yang melanggar hukum syarak. (Rujuk Syarh Sahih Muslim 13/192)


Menurut Imam al-San’ani, Rasulullah Sallahu‘alaihiwasallam tidak mungkin mendoakan keburukan kecuali untuk orang yang meninggalkan kewajiban. Jika doa itu karena alasan orang itu bersikap sombong, memang ada kemungkinan demikian. Dan tidak dapat dinafikan juga kemungkinan Nabi Sallahu‘alaihiwasallam berdoa kerana kedua-dua alasan tersebut. (Rujuk Subulus Salam 3/159).


Menurut Imam al-Munawi pula, perbuatan menyerupai syaitan tidak semestinya menunjukkan pengharaman, kadangkala ia merujuk kepada kemakruhan. Manakala doa Nabi Sallahu‘alaihiwasallam terhadap lelaki tersebut adalah disebabkan oleh kesombongannya daripada menuruti arahan Nabi Sallahu‘alaihiwasallam. (Rujuk Faidh al-Qadir 1/298)


Dari Riwayat hadith-hadith Ini, maka ada dua pandangan ulama' tentang hukum makan menggunakan tangan kanan:


1- Sunat menggunakan tangan kanan:


Jumhur atau majoriti ulama termasuk mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’e dan Hanbali berpandangan bahawa hukum makan dengan tangan kanan hanyalah sunat dan dianjurkan, dan makruh hukumnya makan dan minum dengan tangan kiri ketika tidak dalam keadaan darurat. (Rujuk Al-Bahr al-Ra’iq 1/56, Bariqah Mahmudiyyah 4/111, 45/294, Hasyiyah al-‘Adawi 2/425, Mathalib Uli al-Nuha 5/242, Mughni al-Muhtaj 3/250 dan Al-Iqna’ fi Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, 3/231)


2-Haram makan dan minum dengan tangan kiri:


Ini menurut salah satu qaul Imam al-Syafi’e, beliau menegaskan bahawa hukum makan dengan tangan kanan adalah wajib. (Rujuk Fathul Bari, 9/522)


Ini juga adalah pendapat ulama muhaqiqqin seperti Al-Syaukani (Rujuk Nail al-Authar 15/157)


Ibn Muflih pula menukilkan pandangan Ibn Hazm dan Ibn Abd al-Barr yang mengharamkan makan dan minum dengan tangan kiri berdasarkan zahir hadith. (Rujuk Al-Adab al-Syar’iyyah, 3/168).


Menurut Pandangan sebahagian ulama, meskipun hadith-hadith yang menyuruh makan dan minum dengan tangan kanan secara zahirnya kelihatan seperti wajib, namun memandangkan ia lebih berbentuk adab dan irsyad, maka hukumnya bertukar menjadi sunat. (Rujuk Majmu’ah al-Rasa’il al-Fiqhiyyah min Syarh Manar al-Sabil, hal. 172)


Imam al-Nawawi berpandangan bahawa makan dan minum dengan tangan kiri hanyalah makruh dan tidak sampai ke tahap haram, dan dalam masa sama beliau berpesan agar hendaklah menjauhi perbuatan-perbuatan yang menyerupai perlakuan syaitan dengan semampu mungkin. (Rujuk Syarh Sahih Muslim 13/190-191)


7. Makan dengan kadar yang tidak berlebihan ketika berbuka. 


Ini bertepatan dengan firman Allah Subhanahuwata'ala,


يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ


Maksudnya:"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Al-`Araf ayat 31


Dalam sebuah hadith yang diriwayatkan daripada Abi Hurairah R.A, Nabi Sallahu‘alaihiwasallam bersabda:


الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ


Maksudnya: Seorang mukmin itu makan dengan satu perut, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh perut.

Riwayat Bukhari (5392) dan Muslim (5498)


Manakala dalam hadith daripada Miqdam bin Ma’di, Rasulullah Sallahu‘alaihiwasallam bersabda:


مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلاَتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لاَ مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ


Maksudnya: “Tidaklah anak Adam memenuhi bekas yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan belakangnya. Namun jika dia mesti (melebihkannya), hendaklah sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga lagi untuk bernafas”


Riwayat al-Tirmizi (2380), Ibnu Majah (3349), al-Nasaie (6729) dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (5263)


Syeikh al-Mubarakfuri menjelaskan: “Penuhnya perut (dengan makanan) boleh menyebabkan kerosakan pada agama dan dunia.” (Lihat Tuhfah al-Ahwazi, 7/44)


Hadith ini kadang disalah fahami oleh sesetengah pihak, lalu mereka menyangka Nabi Sallahu‘alaihiwasallam. menyuruh umatnya jika makan, hendaklah satu pertiga untuk makanan, satu pertiga untuk minuman dan satu pertiga untuk pernafasan. Sebenarnya jika kita teliti hadith ini bukan demikian, pembahagian tersebut ialah had yang maksimum. Kalau boleh dikurangkan hendaklah dikurang daripada itu. Sebab itu baginda menyebut jika tidak dapat, maka tidak melebihi pembahagian tadi. Namun yang lebih utama digalakkan sekadar yang dapat memberi tenaga.


8.Menyegerakan solat Maghrib selepas berbuka dengan tamar atau air, sekiranya makanan belum dihidangkan. 


Baginda Nabi Sallahu‘alaihiwasallam berbuka dengan rutab atau tamar atau air sebelum bersolat Maghrib. Maka kita disunatkan juga mengikuti langkah tersebut, iaitu selepas berbuka dengan perkara-perkara tadi, lantas terus menunaikan solat. Ini menurut apa yang dikata oleh Anas Ibn Malik RA,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ


Maksudnya: “Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah) sebelum solat maghrib. Jika tidak ada kurma basah, maka baginda berbuka dengan tamar (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian baginda berbuka dengan seteguk air.” (Riwayat Abu Daud dan Ahmad, hasan sahih)


Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d beliau berkata bahawa Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam bersabda:


لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ


Maksudnya: Sentiasalah manusia itu berada dalam kebaikan selama mana mereka menyegerakan berbuka. Riwayat Al-Bukhari (1957)


Hadith di atas ini menunjukkan bahawa antara amalan sunnah adalah menyegerakan berbuka puasa sebaik sahaja telah dipastikan bahawa matahari telah terbenam. Riwayat daripada Anas bin Malik R.A di atas Juga menunjukkan bahawa Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam berbuka puasa dengan beberapa biji ruthab kemudian Baginda mendirikan solat’’.


Ini sekiranya makanan belum dihidangkan. Adapun sekiranya makanan telah dihidangkan di depan mata, maka dimakruhkan meninggalkan makanan untuk menunaikan solat. Hal ini adalah supaya jiwanya akan lebih tenang dan tidak terganggu untuk mendirikan solat maghrib. Terdapat beberapa riwayat yang menyebut berkaitan hal ini. Antaranya adalah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Atiq R.A beliau berkata bahawa Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam bersabda:


 لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ


Maksudnya: Tidak sempurna solat dengan keberadaan makanan (yang telah terhidang) dan begitu juga tidak sempurna solat bagi mereka yang menahan air kecil dan air besar. Riwayat Muslim (560)


Berdasarkan hadis di atas, kalimah لاَ di situ adalah لا نفي yang dalam konteks ini menafikan kesempurnaan solat. Implikasi hukumnya adalah makruh solat dalam keadaan makanan telah dihidangkan dan begitulah juga makruh solat dalam keadaan menahan buang air kecil dan air besar.


Kata Imam al-Nawawi Rahimahullah: ‘’Hadith-hadith sebegini menunjukkan kepada kemakruhan solat dengan adanya makanan disediakan bagi mereka yang ingin makan. Ini disebabkan akan hilangnya kesempurnaan khusyuk serta hadirnya perkara-perkara yang menyibukkan hati’’.


Demikian juga berdasarkan sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Ibn Umar R.A bahawa Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam bersabda,


 إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ فَلاَ يَعْجَلْ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ، وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ


Maksudnya: Apabila salah seorang kamu berada di hadapan hidangan makan maka janganlah dia bersegera sehinggalah dia menyelesaikan hajatnya dari makanan tersebut, meskipun solat telah didirikan. Riwayat Al-Bukhari (674)


Manakala dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik R.A beliau berkata bahawa Rasulullah Sallahu'alaihiwasallam bersabda:


 إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ


Maksudnya:"Apabila makan malam telah disediakan maka mulakanlah dengannya sebelum kamu menunaikan solat maghrib. Maka janganlah kamu tergopoh gapah dengan makan malam kamu".Riwayat Al-Bukhari (672)


Imam Al-Bukhari menukilkan sebuah kata-kata dari Abu al-Darda’ yang mana beliau berkata: ‘’Antara feqh (kefahaman beragama) seseorang itu adalah dia mendahulukan hajat (keperluannya dengan makanan) kemudian barulah dia pergi ke arah solatnya dalam keadaan jantung hatinya kosong (tenang dari gangguan)’’.


Demikian juga Imam Abu Daud meriwayatkan dengan katanya:


وكان ابن عمر يوضع له الطعام ، وتقام الصلاة فلا يأتيها حتى يفرغ ، وإنه يسمع قراءة الإمام


Maksudnya: Adalah Ibn Umar dihidangkan kepadanya makanan, lalu didirikan solat dan beliau tidak mendatanginya (solat) sehinggalah beliau selesai makan. Dan sesungguhnya beliau mendengar bacaan imam.


Manakala dalam sebuah riwayat yang lain daripada Nafi’ beliau berkata:


وكان ابن عمر إذا حضر عشاؤه وسمع الإقامة وقراءة الإمام لم يقم حتى يفرغ


Maksudnya: Adalah Ibn Umar apabila telah terhidang makan malam dan beliau mendengar iqamah serta mendengar bacaan imam, beliau tidak bangun (untuk menunaikan solat) sehinggalah selesai makan.


Demikian juga terdapat sebuah riwayat yang menceritakan berkenaan dengan Abu Hurairah dan juga Ibn Abbas R.Anhuma bahawa ketika keduanya sedang memakan hidangan lalu muazzin hendak iqamat bagi mendirikan solat, maka Ibn Abbas berkata kepadanya:


لا تعجل لئلا نقوم وفي أنفسنا منه شيء


Maksudnya: Jangan kamu bersegera (untuk iqamat) supaya kita tidak berdiri dalam keadaan dalam diri kita ada memikirkan sedikit tentang makanan tersebut. Rujuk Fath al-Bari, Ibn Hajar (2/188)


Seperkara yang lain, jika mengambil kira kepada suasana di masjid-masjid pada hari ini yang berbuka puasa dengan juadah ringan terlebih dahulu adalah bertepatan dengan kata-kata Al-Hafiz Ibn Hajar:


لأنه يكون قد أخذ من الطعام ما دفع شغل البال به


Maksudnya: Ini kerana dia telah mengambil dari makanan dengan kadar yang dapat menghalang sibuknya fikiran dirinya dengan makanan tersebut.


Dalam hal ini adalah jiwa para jamaah sudah agak tenang dan tidak terganggu untuk mendirikan solat maghrib, kerana telah mengambil sunnah berbuka puasa segera dan dapat juga dapat menunaikan solat secara berjamaah dalam tempoh yang awal.


Di antara Adab-adad Sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan oleh  oleh Orang yang Berpuasa:


Memperbanyak bacaan al-Qur-an, berzikir, berdoa, solat sunat, serta sedekah.

Mengingati semua nikmat yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya, di mana Dia telah memperkenankan para hamba-Nya untuk menjalankan ibadah puasa serta memberikan kemudahan dalam menunaikannya. Berapa banyak orang yang berangan-angan agar boleh menjalankan puasa, tetapi tidak mudah baginya untuk menjalankannya.

Menjaga semua anggota tubuh dari segala hal-hal yang buruk, di mana seorang yang sedang berpuasa tidak akan mengerjakan apa yang dapat menodai puasanya. Anggota tubuh yang diperintahkan untuk selalu dijaga adalah lisan, mata, telinga, perut, kemaluan, tangan, dan kaki. Oleh kerana itu, jika seorang muslim telah menjaga anggota tubuhnya dari segala macam bentuk dosa, maka puasanya akan sempurna dan pahalanya pun akan dilipatgandakan.

Disunatkan bagi orang yang berpuasa untuk memberikan makanan dan minuman untuk berbuka kepada seorang atau lebih yang telah berpuasa meski hanya dengan satu buah tamr (kurma kering) atau seteguk air. Yang demikian itu merupakan sedekah yang paling utama pada bulan Ramadhan.

Disunatkan bagi orang yang berpuasa untuk memakai siwak. Tidak ada perbezaan waktu antara awal siang dan di akhir siang kerana siwak itu dapat membersihkan mulut sekaligus mendapatkan keredhaan Allah.

Demikianlah sebahagian dari adab puasa yang bersifat wajib dan sunat yang mesti dipegang dan dijadikan hiasan oleh orang yang berpuasa agar dia benar-benar mendapat keberuntungan, pada hari di mana sebahagian orang beruntung dan sebagian lainnya mengalami kerugian.


Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang berpuasa itu terdiri dari dua tingkatan:


Orang yang meninggalkan makan dan minum serta nafsu syahwatnya kerana Allah Subhanahuwata’ala dengan mengharapkan Syurga sebagai gantinya dari sisi-Nya. Demikianlah perniagaan dan mu’amalah dengan Allah Subhanahuwata’ala, di mana Dia tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang paling baik amal perbuatannya. Tidak akan merugi orang yang bermu’amalah dengan-Nya, tetapi justru dia akan mendapatkan keuntungan yang besar….

Di antara orang yang berpuasa itu terdapat juga orang yang berpuasa di dunia dari segala sesuatu selain Allah Subhanahuwata’ala, dimana dia menjaga kepala dan semua yang ada padanya, perut dan semua yang dikandungnya, mengingat kematian, dan menghendaki akhirat maka dengan begitu dia meninggalkan perhiasan dunia. Inilah ‘Idul Fithrinya, hari pertemuan dengan Rabb-nya, dan kegembiraannya dengan melihat-Nya". 

Lihat kitab Fii Aadaabish Shaum li Thaa-ifil Ma’aarif, karya Ibnu Rajab (hal. 185), al-Muhallaa (VI/541), al-Hidaayah (I/129), I’laa-us Sunan (IX/146), asy-Syarhush Shaghiir (II/228),  al-Mughni (IV/432), Fathul Baari (IV/137) dan Nailul Authaar (IV/207).



No comments:

Post a Comment

Tetap istiqomah walaupun di luar bulan Ramadhan.

Tetap istiqomah walaupun di luar bulan Ramadhan. Istiqomah dalam mengerjakan amal soleh merupakan satu sikap yang penting dalam kehidupan se...